ruangjournalist.com – Menindaklanjuti masalah penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) diatas lahan mangrove di wilayah Desa Pasar Ngalam Kecamatan Air Periukan, Pemerintah Desa Pasar Ngalam menggelar rembug desa (musyawarah), pada Selasa siang (20/6) sekitar pukul 10.00 wib.
Rembug desa ini merupakan inisiatif Badan Permusyawatan Desa Pasar Ngalam, untuk meredam gejolak masalah agraria yang terbilang sensitif.
Menyusul adanya permintaan masyarakat yang ingin membuat SKT di kawasan hutan mangrove, seperti yang disampaikan Anto Kuswoyo (35) yang diketahui merupakan adik kandung Ketua BPD Pasar Ngalam, selaku penggarap lahan yang membuka hutan bakau dengan alat berat, yang rencananya akan dijadikan areal perkebunan kelapa sawit.
“Itu lahan seluas 10 hektare saya beli dari pak Saipin dan Supin warga Desa Pasar Ngalam seharga Rp 80 juta, sudah ada surat keterangan jual belinya, rencana saya mau saya jadikan areal perkebunan kelapa sawit, saya ingin agar penerbitan SKT dapat segera ditindaklanjuti pemerintah desa, karena disebelah lahan saya sudah ada sertifikat tanah,” ujar Anto Kuswoyo.
Hal senada juga disampaikan Supin (70) yang juga selaku mantan ASN Pemkot Bengkulu, yang menyebut pemerintah desa terlalu mempersulit penerbitan SKT atas lahan yang telah dijualnya.
“Itu lahan warisan orang tua kami sudah turun temurun, dan sedari dulu memang sudah ada pernah digarap walaupun kini sudah menjadi hutan bakau, jadi kami minta kalau bisa SKT diterbitkan, kalau mudah kenapa harus dipersulit,” ujar Supin.
Menanggapi hal tersebut, Kades Pasar Ngalam Suprida langsung menegaskan tidak ada upaya mempersulit penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) tersebut, karena pembukaan hutan mangrove, harus melewati prosedur agar tidak tersandung perkara hukum.
“Pada prinsipnya kami tidak ada mempersulit penerbitan SKT, tapi kami butuh hitam diatas putih dari instansi terkait pembukaan hutan bakau, agar tidak menimbulkan masalah hukum dikemudian hari,” terang Suprida.
Tak ketinggalan mantan Kades Pasar Ngalam yang pernah menjabat 19 tahun dan juga mantan DPRD Seluma, Zainal Arifin (70) menyesalkan adanya pembukaan hutan mangrove yang sedari dulu memang dilarang buka.
“Jujur saya merasa tersinggung, karena dari dulu saya jadi kades 19 tahun lamanya, dari dulu yang namanya hutan bakau dilarang dibuka, ini malah dibuka pakai alat berat tanpa pamit,” tegas Zainal Arifin.
Sementara itu, dalam musyawarah ini, Kades Pasar Ngalam melibatkan BPD, dan mengundang sejumlah instansi pemerintah terkait seperti Dinas Perikanan, Dinas PUPR, Dinas Pertanian, Dinas PMD, Polsek Sukaraja dan Koramil Air Periukan.
Namun sayangnya, BKSDA Seksi Konservasi Wilayah II Bengkulu dan DLH Kabupaten Seluma tidak hadir untuk menanggulangi permasalahan ini meski telah diundang.
Dari hasil kesimpulan musyawarah ini, Dinas Perikanan Kabupaten Seluma, Bidang Tata Ruang Dinas PUPR dan Dinas Pertanian Kabupaten Seluma menyebutkan lokasi yang dibuka diluar kawasan Cagar Alam dan masuk dalam peta areal perkebunan besar.
Namun masalah hutan mangrove yang dibuka bukan kapasitas dan kewenangan Dinas Perikanan, Tata ruang Dinas PUPR dan Dinas Pertanian Kabupaten Seluma.
Menindaklanjuti hasil kesimpulan musyawarah ini, Ketua BPD Pasar Ngalam akan kembali berkoordinasi dan jemput bola ke BKSDA Provinsi Bengkulu, dan DLH Kabupaten Seluma.
“Kita sudah mendengar hasil kesimpulan musyawarah ini, agar masalah tidak berlarut-larut kita akan jemput bola ke BKSDA dan DLH agar diterbitkan surat keterangan atau hitam diatas putihnya sebagai pegangan Ibu Kades untuk dapat dipertanggungjawabkan dikemudian hari,” tegas Zabudin Hartoyo.
(RJ)