ruangjournalist.com – Tradisi nujuh likur di bulan Ramadhan, merupakan tradisi yang dilakukan sejak masa lalu secara turun-temurun oleh masyarakat Melayu dengan melakukan penyalaan lampu atau penerangan tradisional yang ditempatkan disekitar masjid, diberbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah penduduk.
Hal tersebut sama halnya dengan, festival Malam 7 Likur di Kabupaten Seluma ini sudah dimasukkan ke dalam agenda wisata Calendar of Events Seluma 2023, yang dipusatkan dari halaman Masjid Agung Falihin Kelurahan Talang Saling Kecamatan Seluma, dan diikuti serentak di 202 Desa/Kelurahan yang ada di Kabupaten Seluma.
Untuk menambah semaraknya festival ini, masyarakat Kabupaten Seluma kreasi Nujuh Likur dari penampilan Lanjaran yang telah dibuat masyarakat untuk diperlombakan.
Festival Malam 7 Likur dilaksanakan pada bulan Ramadhan mulai tanggal 17 April atau seminggu menjelang akhir Ramadhan, hingga menjelang malam takbiran Hari Raya Idul Fitri.
“Gunung Api” dari Lanjaran atau tempurung kelapa yang telah disusun kemudian dinyalakan ini dipasang berjejeran di depan masjid, depan rumah dan sepanjang jalan, untuk menyemarakkan malam-malam akhir dari Ramadhan.
Bupati Seluma Erwin Octavian, bersama Wakil Bupati Drs. Gustianto, berikut unsur Forkopimda Kabupaten Seluma dan Kepala OPD di lingkungan Pemkab Seluma, turut serta menyalakan pelita Lanjaran yang telah disiapkan di depan halaman Masjid Agung Falihin.
“Nujuh Likur ini kita adakan setiap bulan Ramadhan, sama-sama kita membersihkan diri dan buah kebersamaan, kekompakan, dan sudah menjadi tradisi lama yang kita hidupkan kembali, sesuai motto kita Seluma Serawai Serasan Seijoan, mari bersama-sama mewujudkan Seluma yang lebih baik lagi biar pembangunan di Kabupaten Seluma bisa dirasakan masyarakat luas, jadi mohon dukungan dan doanya,” tutur Erwin Octavian.
Sementara itu, kata Likur ini berasal dari bahasa Melayu yang diartikan sebagai suatu kata untuk menyatakan bilangan antara 20 dan 30. Di Negeri Jiran kata Likur biasanya digunakan untuk mengatakan waktu malam 21 sampai 29 Ramadhan. Kalau memakai bahasa Jawa menjadi Pitu Likur yang berarti bilangan 27.
Tradisi Tujuh Likur yang memang identik dengan etnis melayu ini juga terdapat di Lampung, Banjarmasin, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Pada malam itu setiap rumah memasang Lanjaran yang terbuat dari tempurung kelapa yang sudah disusun dan ditancapkan ke tanah, kemudian tempurung yang telah disusun disiram minyak tanah dari atas dan selanjutnya dinyalakan dengan api.
(***)